Bisnis ini merupakan cerminan dan promosi Indonesia aman!
Depok,
16 Februari, jam 06.30. Sebuah keluarga kecil duduk di depan televisi
menyimak berita pagi di sebuah stasiun televisi swasta. Zidan, anak
tunggal mereka yang berumur hampir 2,5 tahun bicara kepada ayahnya.
“Yah, mbaknya nggak pakai baju,” ujarnya polos. Si Ayah pun tertawa.
Rupanya saat itu sedang ditayangkan liputan konser Mariah Carey, diva
musik pop dari Amerika. Mariah hanya salah satu dari sederet artis manca
yang beberapa bulan ini meramaikan pentas musik tanah air. Seperti
bosan dengan penyanyi-penyanyi lokal, promotor Indonesia berlomba-lomba
mendatangkan artis atau grup musik dari luar negeri. www.ceaster.com
Promotor yang membawa Mariah Carey hadir di Jakarta adalah Java Musikindo, yang digawangi chairman, Adrie Subono. Lebih
dari 5.000 penonton menyaksikan konser bertajuk Mariah Carey
Charmbracelet World Tour 2004, yang digelar di Plenary Hall, Jakarta
Convention Center (JCC), Minggu, 15 Februari 2004. Seminggu sebelumnya, 9 Februari, grup rock asal Amerika Serikat, Toto,
membuka konser mereka yang berjudul Toto 25th Anniversary World Tour di
hadapan sekitar 4.500 penonton, di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta. Tiket
yang disediakan Original Production pimpinan Tommy Pratama Hernanto,
dengan harga Rp.175.000 (untuk kelas festival) sampai dengan Rp300.000
(VIP), ludes satu hari sebelum pertunjukan.
Adrie dan Tommy adalah generasi berikutnya dari promotor Indonesia. Menjadi promotor musik bagi Adrie—setelah 20
tahun berbisnis tanker, kapal, dan minyak—adalah caranya untuk
menikmati hidup sambil tetap berkarya, setelah dirinya berusia 50 tahun.
“Saya tidak mau kerja berat lagi,” ujarnya kepada BusinessWeek
Indonesia, 19 Februari lalu. Kesempatan pertama untuk “menikmati hidup”
itu datang tahun 1994. Adrie mendapat kesempatan mendatangkan Saigon
Kick ke Jakarta. Untuk bisa melaksanakan konser, ia harus membentuk
badan usaha kepromotoran. Pada Oktober 1994, lahirlah Java Musikindo
(Java) yang hingga kini sudah mendatangkan 30 artis mancanegara.
Sementara
Tommy Pratama, 34, menjalani bisnis ini sebagai jalan hidup. Anak Toto
Barata, personil Barata Band—band spesialis pelantun lagu The
Beatles—ini mengaku “keracunan” pertunjukan sejak kecil. Ia memulai
bisnisnya sebagai even organizer (EO) sejak masih duduk di bangku SMA.
Waktu kuliah di Universitas Trisakti, dirinya sukses mendatangkan group
lokal yang sekarang sudah terkenal seperti Slank, Dewa dan Gigi di acara
Sunday Music Fiesta. Artis asing yang pertama kali didatangkannya
adalah Air Supply pada 1994.
Walaupun masih banyak promotor lainnya, namun Tommy, Adrie dan satu lagi, Peter Basuki,
dedengkot Buena Production, bisa dikatakan mewakili tiga besar promotor
musik Indonesia. Peter Basuki yang dijuluki founding father-nya
penyelenggara even atau EO (event organizer) sudah berkarya sejak 60-an.
Perusahaannya berdiri tahun 1969 dengan nama Buena Ventura yang
kemudian berubah nama menjadi Buena Production. Di saat bisnis promotor
masih sangat muda, Peter sudah mendatangkan Oscar Harris dan The Twinkle
Stars, juga Deep Purple.
Satu mobil
Bisnis
promotor, menurut Adrie, sebenarnya tidak membutuhkan dana besar.
“Dengan harga BMW seri 7 yang Rp1,7 miliar, Anda sudah bisa mendapatkan
satu konsep yang bagus dan artis yang bagus,” ujarnya. Besar kecilnya
biaya lebih tergantung dari faktor harga artis yang menurut Adrie
berkisar antara $20.000 sampai $1 juta. Biaya lain adalah biaya
produksi, biaya seluruh kegiatan terkait konser selama di Indonesia yang
meliputi biaya hotel, sewa venue (tempat konser), pajak, asuransi dsb.
“Biaya produksi berkisar dari Rp400 juta sampai Rp1 miliar, tergantung
dimana Anda buat,” ujarnya.
Konser di Tennis Indoor Senayan misalnya,
biaya produksinya berkisar antara Rp 400 juta. Sementara di outdoor
lebih mahal lagi. Java bisa mengeluarkan dana hingga Rp1 miliar. “Karena
di out door, makin besar lapangan, makin banyak kita memerlukan tenaga
manusia,” tuturnya. Harga artis paling besar yang dikeluarkan Java
adalah Mariah Carey. “Kemarin, itu melanggar apa yang sudah saya
undang-undangkan sendiri,” ujar Adrie. Walaupun Adrie tidak menyebut
angka, menurut sumber BusinessWeek Indonesia, Java harus merogoh kocek
$400.000 atau Rp3,4 miliar untuk Mariah. Java
sebelumnya mematok harga artis maksimum $150.000 atau sekitar Rp1,275
miliar. Harga itu ditambah biaya produksi, total biayanya menjadi Rp1,7
miliar. “Harga satu BMW,” ujar Adrie.
Dengan
total biaya itu menurut perhitungan Java, masih diperoleh tiket dengan
harga terjangkau bagi penonton Indonesia. Sehingga untuk kasus Mariah
Carey, Java terpaksa menjual tiket paling mahal sepanjang sejarah Java,
antara Rp500 ribu hingga Rp1,7 juta. Namun tetap saja 5000 tiket ludes
terjual. Menurut Adrie, harga tiket bisa lebih terjangkau lagi kalau
pihaknya mendapatkan venue dengan kapasitas yang lebih besar. “Kalau
saya bisa dapatkan Istora (Senayan) yang berkapasitas 8000 orang,
mungkin saya bisa menjual tiket paling murah Rp300 ribu dan yang paling
mahal Rp1,2 juta,” ujarnya pada BusinessWeek Indonesia. Kapasitas venue
di JCC hanya 5500.
Rider
Menurut
Tommy Pratama, besar kecilnya biaya artis juga tergantung pada rider
(daftar permintaan artis). Tommy mencontohkan group besar seperti The
Rolling Stones. Pada setiap konsernya Rolling Stones selalu membawa 55
kontainer barang. “Sehingga promotor harus bayar mahal,” ujarnya. Biaya
produksi Original untuk format indoor dipatok antara Rp150 juta hingga
Rp500 juta. Sementara outdoor antara Rp300 juta sampai Rp1 miliar,
sesuai dengan kebutuhan produksi dan keamanannya. Tommy lebih memilih
indoor. “Lebih enak main di indoor, biaya produksinya tidak sebesar di
outdoor, kita bisa jual harga tiket yang lebih tinggi daripada main di
outdoor,” ujarnya.
Dengan
penonton 20.000-30.000 orang di outdoor dan harga tiket Rp20.000,
menurut Tommy masih tetap lebih menguntungkan apabila konser diadakan
indoor, dengan 3000-4000 penonton dan tiket seharga Rp300.000. “Waktu
Deep Purple, tiketnya saya jual Rp750.000, atau Dionne Warwick dengan
target penonton 1500 orang, kita jual tiket dengan harga Rp1 juta,” ujar
Tommy. Namun rumus ini tidak selalu bisa diterapkan untuk seluruh tipe
artis. “Seperti Megadeth, saya tidak bisa dong, mainin di hotel,”
ujarnya. Saat konsernya di Medan, Original menjual tiket dengan harga
Rp35.000 karena melihat pasarnya yang sebagian besar anak-anak muda.
Biaya
artis yang dikeluarkan Original berkisar antara $50.000 sampai
$250.000. Untuk konser Toto yang indoor ia merogoh fee di bawah
$200.000. “Kita tawar-menawar berdasarkan harga tiket dan biaya
produksi, dan mereka tahu itu,” tutur Tommy. Tarif untuk artis
mancanegara ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga artis lokal.
Band sekelas Padi misalnya, saat ini menurut Tommy tarifnya masih
berkisar Rp40 juta. “Untuk artis (lokal) semahal-mahalnya Rp200 juta
($25.000). Bandingkan dengan Limp Bizkitt yang saya bayar $300.000,”
ujarnya.
Namun
angka itu pasti akan tumbang dengan rencana Original mendatangkan The
Rolling Stones yang diharapkan bisa terlaksana 2005. “The Rolling
Stones, kalau rencana konser ke Beijing, Bangkok dan Shanghai jadi,
insyaAllah kita dapat, karena mereka sudah mengeluarkan konfirmasi ke
saya sejak April 2003,” ujarnya. Bagi Original itu adalah kepercayaan
besar. “The Rolling Stones sudah ketahuan. Mereka
tarifnya $2 juta,” ujar Tommy. Angka $2 juta (Rp17 miliar) ini menurut
Tommy sebenarnya murah. The Rolling Stones sudah membawa 55 kontainer
barang, 200 pekerja, dan membayar semua akomodasinya (biaya hotel dan
transportasi termasuk satu pesawat angkut Antonov). Promotor hanya
menyediakan venue dan keamanan.
Sponsor
Dari
mana promotor memperoleh dana sebesar itu? “Bagi saya yang sudah
mengalami asam garamnya (bisnis promotor) sebaiknya, kita menggantungkan
diri dari sponsor,” ujar Tommy. Bahkan bila mungkin, sponsor menutup
100% dari biaya produksi dan promotor bisa untung
sebelum pertunjukan dimulai. “Jadi tiket itu murni 100% untuk untung
yang masih ditambah dengan kelebihan dana dari sponsor,” ujarnya. Namun
hal ini jarang terjadi. Ada sponsor yang hanya menutup 30% dari biaya
produksi. “Sehingga kita mesti cari risiko di tiket,” ujar Tommy. Artinya
promotor harus mematok target minimal tiket yang akan terjual. Misalnya
70%. Dengan adanya dana sponsor sebesar 30%, promotor baru bisa
mencapai titik impas. “Tapi ada juga sponsor yang 50%, tapi tiket sold
out 100%, jadi kita untung 50%,” ujarnya.
Namun,
untuk konser setingkat The Rolling Stones, Tommy mengaku tidak mampu
mengandalkan pada sponsor dan penjualan tiket. Original rencananya akan
menjual putus kepada pemerintah. “Kalau nggak diambil ya bodo,” ujarnya.
Seperti yang terjadi di Hong Kong, The Rolling Stones dibayar $4 juta
hanya untuk menunjukkan bahwa negara itu bebas dari virus SARS. “Ini PR
yang efektif, karena musik bahasa dunia,” ujarnya.
Apalagi saat ini menurut Peter Basuki, buying power masyarakat terus menurun. “Dulu
saya bisa meng-cover semua show saya dari real penjualan tiket,”
ujarnya. Sekarang terbalik. “Kalau dengan harga tiket dulu—yang dengan
kurs sekarang sekitar Rp750.000—penonton mungkin teriak-teriak,”
ujarnya. Dan dari pengalaman Buena, dana yang diperoleh dari salah satu
sponsornya Sampoerna hanya 30%-40% dari fee artis, tidak dari seluruh
biaya konser. “Saya tidak percaya ada promotor yang bisa untung besar.
Kecuali kita kejar harga tiket mahal,” ujar Peter. Untuk mengatasi hal
itu, Buena, yang akhir-akhir ini lebih banyak mengundang artis jazz,
mentargetkan tiket harus terjual minimal 80-90%.
Menanggapi hal ini Sendi Sugiharto, Senior Manager, Sampoerna A Mild, menyatakan, Sampoerna tidak pernah berhitung-hitung untuk memberikan yang terbaik bagi konsumen dalam setiap kegiatan musik. “Kami ingin secara konsisten bisa menyelenggarakan even-even sejenis yang berkualitas,” ujarnya. Sejak tahun 1994, sebelum industri musik tumbuh, pihaknya telah terjun ke dunia ini. “Kegiatan-kegiatan seperti ini sangat efektif untuk mendekatkan diri kepada para konsumen, “ ujarnya.
Musisi-musisi mancanegara yang telah disponsori Sampoerna diantaranya adalah Scorpions, Incognito, Al Jarreau, Peter Cetera, Mr. Big, David Benoit, George Benson, Kitaro, serta Mariah Carrey pada awal tahun 2004. Namun seperti biasa, Sendi tidak mau menyebut angka. Menurutnya total biaya promosi bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya. Besar kecilnya dana yang disalurkan Sampoerna terkait dengan target
karakter konsumen pada setiap even yang diselenggarakan. “Even,
khususnya musik yang kami selenggarakan, selalu mengikuti pola
tersebut,” ujarnya.
Pasar
Bicara
mengenai pasar menurut Adrie, di Jakarta tidaklah sulit mendatangkan
penonton. Angka 4000-6000 penonton menurut Adrie hanyalah sebagian kecil
dari total penduduk Jakarta (yang menurut sensus penduduk pada 2000)
mencapai 8,4 juta jiwa. Hal ini tentu berbeda apabila konser diadakan di
luar kota Jakarta. Selain gedung pertunjukan (venue) yang terbatas, daya
beli yang rendah dan masalah pajak menjadi persoalan tersendiri. “Ini
yang menjadikan konser di luar Jakarta tidak visible,” ujar Adrie.
Dan
kunci sukses Java adalah promosi. Kelebihan Java, sebelum konser, Java
terlebih dulu melakukan survey ke perusahaan rekaman mengenai penjualan
si artis dan menyimak tren di masyarakat. Setelah itu Java menyebar
100.000 flyers di tempat-tempat kumpul anak muda atau target pasarnya.
Setiap minggu flyers ini berubah desain dengan warna yang lebih menarik
dan berbeda. “Kadang-kadang saya agak nakal dengan sedikit
memperlihatkan sesuatu yang seksi. Tapi itu salah satu strategi
pemasaran saya,” ujarnya tertawa. Prinsip promosi Java: gembar-gembor
dengan biaya terjangkau. “Kalau kita pakai internet saja, cost-nya
nothing, Anda sekali pencet sudah bisa menyebarkan berita untuk 10.000
milis,” ujarnya.
Di
Buena sistemnya berbeda. Sampai saat ini, sejak berdirinya tahun 1968,
Buena masih mengandalkan sistem promosi door-to-door, memanfaatkan massa
atau jaringan Buena. “Kelebihan Buena adalah memelihara hubungan dengan
pelanggan, apalagi yang sudah berumur seperti saya,” ujar Peter, 57.
Iklan bagi Buena hanyalah 30%. Sisanya, 70%, Buena harus fight.
“Jauh-jauh hari sebelum konser berlangsung, Buena sudah main telepon
atau email teman-teman kita yang masih rindu dengan misalnya, Level 42,”
ujar Peter. Cara ini ternyata berhasil. Hanya dengan 30% iklan, tiket
sudah sold out. “Kelihatannya strategi ini sampai sekarang masih ampuh.
Jadi saya bilang, Buena harus memelihara mereka (massa Buena),” ujar
Peter.
Untung
Hitung
punya hitung, dalam setiap konser, apabila tiket dijual dengan harga
rata-rata Rp300.000 dan sold out sejumlah 5000 tiket, maka promotor
sudah akan mengantongi Rp1,5 miliar. Dengan dana dari sponsor katakanlah
40% dari fee artis yang $150.000 (Rp1,275 miliar), promotor hanya
mengeluarkan $80.000 (Rp680 juta). Ditambah dengan biaya produksi
untuk (misalnya) konser indoor Rp400 juta, maka seorang promotor bisa
mengantungi keuntungan bersih hingga Rp420 juta setiap konsernya.
Apabila
dalam satu tahun ada 3-4 konser, maka keuntungan yang didapat bisa
mencapai Rp1,26-1,68 miliar. Lain cerita kalau sponsor bisa menutup 100%
dari biaya produksi. Ini adalah berkah. Promotor
bisa mengambil keuntungan bersih dari tiket, sehingga keuntungannya
bisa melonjak mencapai Rp1 miliar, setiap konsernya. Belum lagi tambahan
pemasukan lain dari hak siar konser yang bisa dijual ke stasiun TV
dengan harga $10.000-20.000.
Walaupun
menjanjikan, bisnis ini bukannya tanpa resiko. Setiap promotor
menghadapi kesulitan dari mencari venue sampai pembatalan artis. Masalah
venue ini juga yang menjadi pesan Tommy kepada BusinessWeek Indonesia.
“Kita nggak ada gedung konser yang layak,” ujarnya. Tommy berharap
pemerintah bisa membangun venue yang representatif seperti di Singapura
dengan Singapore Indoor Stadium, di Hong Kong dengan Hong Kong Harbour
Pavillion dan di Syney, Australia dengan Sydney Superdome-nya.
Mengenai
pembatalan konser, Original mengalaminya saat konser Deep Purple pada
2001. Dan bahkan selama 2003, Original mengalami 3 pembatalan konser
yaitu Yes, Limp Bizkit dan Julio Iglesias. Sebagian besar karena travel
warning yang dikeluarkan negara asal si artis. “Saya
pikir tidak fair kalau pemerintah mereka menghimbau dengan embel-embel
peristiwa yang seram-seram. Tentu saja orang jadi takut kemari," papar
Tommy.
Pembatalan konser, walaupun konser itu kebanyakan sudah diasuransikan, menurut Peter, menimbulkan kerugian materiil dan immateriil. Kerugian materiil datang dari sponsor. Sementara kerugian immateriil, “(yaitu) Moril saya, (dan kerugian) kepada orang lain yang tidak bisa dibayar dengan uang,” ujarnya. Hal ini terjadi saat konser Tina Turner—yang kabur, dan Jose Feliciano—gitaris dan penyanyi buta peraih 6 Grammy Award—ketika akan menggelar konsernya di Jakarta. “Saat kita sudah jual tiket, dia (Jose) sakit gigi,” ujar Peter tertawa. Inilah showbizz.Ceaster
Pembatalan konser, walaupun konser itu kebanyakan sudah diasuransikan, menurut Peter, menimbulkan kerugian materiil dan immateriil. Kerugian materiil datang dari sponsor. Sementara kerugian immateriil, “(yaitu) Moril saya, (dan kerugian) kepada orang lain yang tidak bisa dibayar dengan uang,” ujarnya. Hal ini terjadi saat konser Tina Turner—yang kabur, dan Jose Feliciano—gitaris dan penyanyi buta peraih 6 Grammy Award—ketika akan menggelar konsernya di Jakarta. “Saat kita sudah jual tiket, dia (Jose) sakit gigi,” ujar Peter tertawa. Inilah showbizz.Ceaster